Sabang, wilayah Aceh yang berada
paling ujung barat itu didengung-dengungkan sebagai salah satu
banyaknya dari tetesan rasa surga yang jatuh di Indonesia. Perumpamaan
yang dahsyat itu membuat saya ingin sekali mengunjungi Sabang untuk
membuktikan kalimat tersebut. Meski saya tinggal di Aceh, tapi belum
pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di Sabang (eh pernah ding!
waktu TK dulu hihihi). Berhubung saat ini saya sudah menikah dan
tinggal bersama suami di Banda Aceh, ber-planning ria lah kami untuk
sejenak mengeksplor Sabang yang katanya indahhhhh banget itu. Berangkat
dari Banda Aceh pukul 09.00 wib untuk naik kapal di pelabuhan Ulee
Lheu pukul 10.00 wib,
kami memilih untuk naik kapal lambat
(kapal barang), dikarenakan kami membawa serta “Dek Bit” (sebutan untuk
motor bebek kami hahaha) mengharuskan kami untuk naik kapal tersebut
dengan tarif 23ribu/org dan 28rb untuk kendaraan sepeda motor. Lama
perjalanan menggunakan kapal lambat ini sekitar 1jam-2,5jam. Jika ingin
cepat sampai, bisa menggunakan kapal cepat (kapal penumpang) dengan
tarif 60rb-95rb/org. Banyak juga orang-orang dan bule-bule tanpa
kendaraan yang memilih naik kapal ini, mungkin selain harganya
ekonomis, juga bisa lebih puas menikmati laut lepas hehehe. Dengan
semangat kemerdekaan kami duduk manis menanti kapal yang akan membawa
kami ke kota impian, ciyeeee. Sudah hampir 2 jam menunggu, tidak ada
tanda-tanda kami harus bersiap-siap masuk ke kapal. Eh ternyata dapat
informasi bahwa pada hari-hari tertentu kapal barang hanya berangkat
pada 1 waktu yaitu pukul 14.00 wib. Okelah, demi terwujudnya cita-cita
bangsa mari kita menunggu! (ampun DJ…) Teng tong teng, jam sudah
menunjukkan pukul 13.30 wib, para penumpang sudah dipersilahkan masuk
ke kapal (aaahh leganya). Setelah memarkirkan ‘dek bit’ dengan rapi,
kami langsung meluncur ke atas untuk bergabung dan duduk bersama
penumpang lainnya. Yuhuuuu ternyata didalamnya ramai sekali.
Kapal ini memiliki beberapa tingkat
yang diatasnya juga dihuni oleh para manusia yang ingin berlabuh di
kota impian, hihihi. Setelah kami menaruh tas bawaan diatas bangku
kosong, secepat kilat kami berlari kegirangan saat melihat pintu
belakang kapal terbuka (ciyusss, kami gitu orangnya o_O) untuk melihat
keindahan laut.
Tidak lama kemudian, kapal pun mulai
bergerak dan melaju. Banyak sekali orang yang lebih memilih berdiri
untuk menikmati alam daripada harus duduk dibangku.
Perjalanan laut yang sangat-sangat
luar biasa, memandang hamparan biru kehijauan anugerah Tuhan terasa
sangat nikmat bahkan tidak rela meski hanya sekedar untuk mengerjap
mata. Ditengah perjalanan, lengkaplah sudah kebahagiaan kami saat
segerombolan makhluk laut yang suka menyelamatkan manusia menampakkan
dirinya disamping kapal.
Biasanya saya melihat lumba-lumba
hanya di tv, tapi sekarang saya sudah menyaksikan langsung di habitat
aslinya. Maha besar sang pencipta seakan tertoreh tanpa henti. Mungkin
inilah salah satu keberuntungan menaiki kapal lambat, katanya penumpang
kapal ini lebih sering melihat lumba-lumba dibandingkan dengan
penumpang yang menaiki kapal cepat. Pukul 16.30 wib kami sampai di
Pelabuhan Balohan kota Sabang. Kami langsung turun ke bawah kapal,
duduk diatas ‘dek bit’ dan ketika pintu keluar kapal dibuka kami
langsung wusssss meninggalkan pelabuhan.
Saya dan suami benar-benar berada
ditempat asing. Untungnya penunjuk jalan benar-benar membantu. Kami
langsung menuju kota Sabang yang berjarak 10 km dari pelabuhan Balohan.
Suami langsung mengontak temannya (Mr. Adi) untuk menanyakan perihal
penginapan. Karena tujuan kami adalah Iboih dan berencana untuk
menginap disana. Tapi ternyata Mr.Adi menyarankan agar menginap di
losmen yang berada di pusat kota saja, karena perjalanan ke Iboih cukup
jauh (sekitar 22 km dari kota) dan hari sudah semakin senja. Mr. Adi
juga menambahkan, di Iboih sunyi sekali jika malam dan tidak ada
warung-warung yg menjual nasi, karena jam 9 malam mereka sudah tutup.
Akhirnya kami sepakat untuk menginap di kota. Besok pagi-pagi saja kami
mulai perjalanan ke Iboih. Kebahagiaan semakin bertambah lengkap
karena ternyata kamar yang kami sewa langsung menghadap ke teluk kota
Sabang.
Harga sewa per-kamarnya rata-rata
berkisar 150rb-500rb. Tergantung kelengkapan fasilitas yang diinginkan.
Keesokan paginya sekitar jam 07.00 wib kami langsung capcus menuju
Iboih, saat memulai perjalanan menuju Iboih, saya jadi ragu. Betapa
tidak. Jalan menuju iboih sangat berkelok-kelok dan naik turun. Saya
mengkhawatirkan keadaan ‘dek bit’. Bagaimana mungkin motor bebek bisa
mendaki jalan seperti ini, hiks. Tapi namanya juga ‘dek bit’, dengan
semangat membara dia menaiki jalan-jalan yang entah bagaimana bentuknya
(hidup dek bit!). Sepanjang perjalanan, samping kiri dan kanan kita
akan disuguhkan pemandangan hutan lindung. Seperti mau syuting film
hantu saja lokasinya, heuheuheu. Kami tetap sabar berjalan meski tapak
kaki penuh nanah penuh darah (jiahhhh lebay, keseringan nguping suami
dengerin lagu iwal fals ntu sih).
Akhirnya setelah lebih dari 1 jam
perjalanan kami sampai juga ke lokasi dengan penunjuk jalan yang
tertulis “Welcome to Iboih” (Huaaaaaa akhirnyaaa). Begitu sampai kami
langsung disambut oleh pantai biru jernih tak berbibir dengan hamparan
karang dan ikan warna warni yang sangat jelas terlihat begitu saja. Di
pinggir-pinggir pantai terdapat warung-warung yang berjualan makanan
ringan dan juga tempat penyewaan alat snorkling dan diving. Untuk
penyewaan alat snorkling memiliki tarif 40rb seharian sesukamu deh,
hihihi.
Melihat pemandangan seperti itu
rasanya saya ingin mengambil semua karangnya dan suamiku mengatakan
ingin memotong kotak-kotak airnya untuk dibawa pulang dan dimasukkan ke
kulkas. Sungguh pemandangan yang membuat ‘geram’.
Melihat alam yang
seperti ini, seakan saya tidak memiliki batas nilai untk mengukur
berapa rating keindahannya. Benar-benar karya agung sang pencipta
semesta alam. Yang dapat dilakukan dalam waktu itu hanyalah duduk
termenung menikmati dan mengagumi keajaiban yang terpampang nyata
didepan mata.
Saya benar-benar tidak dapat menahan
keinginan untuk sekedar mandi dan meminum sebanyak-banyaknya air laut
ini (hahaha aku gitu orangnya). Tapi berhubung saya dan suami hanya
berdua, rasanya tidak seru kalau mandi dan snorkling. Suamiku berjanji
untuk mengajakku kembali bersama teman2 agar bisa snorkling. Tapi saya
bingung dengan alam yang mahadahsyat indahnya tidak terlihat banyak
orang yang mengunjungi. Dimana-mana hanya terlihat turis asing saja.
Tidak ada wisatawan domestik yang terlihat. Disini benar-benar sepi,
hiks. Mungkin pengelolaannya yang sangat tidak maksimal sehingga
menyebabkan tanah yang kaya ini miskin kunjungan.
Setelah puas dengan keajaiban alam
Iboih, kami melanjutkan perjalanan ke 0 Kilometer yang berjarak 8km
dari Iboih. Menyempurnakan perjalanan ke 0 Km ternyata cukup melelahkan
juga, dengan melewati hutan lindung yang lebih mengerikan akhirnya
sampailah kami di titik ujung barat Indonesaaaahhhhh
Hanya beberapa saat di 0 Kilometer, kami berbalik arah melanjutkan
perjalanan ke Gapang. Jalan menuju Gapang, Iboih, dan 0 Km adalah satu
arah. Jarak antara 0 Km menuju Gapang adalah sekitar 11 km. Sesampainya
di Gapang kami melihat sangat banyak resort-resort yang dihuni oleh
turis asing, lagi-lagi hanya penampakan mereka saja yang ada. Tidak ada
wisatawan domestik. Gapang juga tidak kalah indah dengan Iboih,
memiliki air laut yang jernih bak kaca dengan pemandangan karang yang
menganga didepan mata.Gapang sedikit kotor |
Hari sudah siang, perut pun mulai
berbunyi, setelah mencari-cari rumah makan disekitar Gapang dan tidak
menemukannya, akhirnya kami sepakat untuk langsung melanjutkan ke Sumur
Tiga dan Anoi Itam, kami memutuskan untuk makan siang di Anoi Itam
saja. Perjalanan ke Anoi Itam sekitar 27km dari Gapang. Sesampainya di
kawasan Sumur Tiga dan Anoi Itam saya seakan terbius dengan landskap
alamnya yang biasanya hanya bisa dinikmati melalu karya fotographi
Alam yang begitu mempesona membuat
kami sejenak melupakan rasa lapar. Ketika kembali mengingatnya, kami
kecewa karena lagi-lagi tidak ada warung ditempat ini (huaaaaaaa nangis
gila). Akhirnya kami kembali ke kota untuk mengisi perut. Saya memilih
untuk mencicipi Mie Jalak (salah satu kuliner khas kota Sabang)
Setelah kenyang kami pun kembali ke
penginapan untuk beristirahat karena keesokan paginya kami harus
kembali ke Banda Aceh. Esoknya, pukul 06.00 wib kami buru-buru ke
pelabuhan Balohan agar tidak ketinggalan kapal lambat, karena katanya
orang-orang bisa menunggu/antri sampai berhari-hari agar kendaraannya
bisa diangkut/muat kapal. Untunglah bagi pengguna sepeda motor tidak
terlalu khawatir, tapi kasihan bagi pengguna mobil yang harus antri
kendaraannya selama 2-3hari untuk naik ke kapal dikarenakan tidak
muatnya beban. Rasa sedih menyusup ketika berada di pelabuhan, saya
benar-benar tidak dapat melupakan keindahan Sabang.
My hubby in action go back to Banda Aceh |
Perjalanan pulang dari pelabuhan
Balohan Sabang ke Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh hanya berkisar 1jam
saja. Dan dalam perjalanan pulang, kami tidak melihat kemunculan
lumba-lumba (apakah mereka sedih atas kepulanganku? Oh no bebi hiks).
Sama sedihnya dengan saya yang seakan benar-benar tidak rela perjalanan
ini berakhir. Kami berjanji untuk datang kembali ke kota yang memiliki
pantai nan menawan itu.
Dagh dagh Sabang :( |
Ratizza Ramli : Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar