Jumat, 18 April 2014

Perjalanan Syahdu Menuju Sabang

Sabang, wilayah Aceh yang berada paling ujung barat itu didengung-dengungkan sebagai salah satu banyaknya dari tetesan rasa surga yang jatuh di Indonesia. Perumpamaan yang dahsyat itu membuat saya ingin sekali mengunjungi Sabang untuk membuktikan kalimat tersebut. Meski saya tinggal di Aceh, tapi belum pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di Sabang (eh pernah ding! waktu TK dulu hihihi). Berhubung saat ini saya sudah menikah dan tinggal bersama suami di Banda Aceh, ber-planning ria lah kami untuk sejenak mengeksplor Sabang yang katanya indahhhhh banget itu. Berangkat dari Banda Aceh pukul 09.00 wib untuk naik kapal di pelabuhan Ulee Lheu pukul 10.00 wib,
kami memilih untuk naik kapal lambat (kapal barang), dikarenakan kami membawa serta “Dek Bit” (sebutan untuk motor bebek kami hahaha) mengharuskan kami untuk naik kapal tersebut dengan tarif 23ribu/org dan 28rb untuk kendaraan sepeda motor. Lama perjalanan menggunakan kapal lambat ini sekitar 1jam-2,5jam. Jika ingin cepat sampai, bisa menggunakan kapal cepat (kapal penumpang) dengan tarif 60rb-95rb/org. Banyak juga orang-orang dan bule-bule tanpa kendaraan yang memilih naik kapal ini, mungkin selain harganya ekonomis, juga bisa lebih puas menikmati laut lepas hehehe. Dengan semangat kemerdekaan kami duduk manis menanti kapal yang akan membawa kami ke kota impian, ciyeeee. Sudah  hampir 2 jam menunggu, tidak ada tanda-tanda kami harus bersiap-siap masuk ke kapal. Eh ternyata dapat informasi bahwa pada hari-hari tertentu kapal barang hanya berangkat pada 1 waktu yaitu pukul 14.00 wib. Okelah, demi terwujudnya cita-cita bangsa mari kita menunggu! (ampun DJ…) Teng tong teng, jam sudah menunjukkan pukul 13.30 wib, para penumpang sudah dipersilahkan masuk ke kapal (aaahh leganya). Setelah memarkirkan ‘dek bit’ dengan rapi, kami langsung meluncur ke atas untuk bergabung dan duduk bersama penumpang lainnya. Yuhuuuu ternyata didalamnya ramai sekali.
Kapal ini memiliki beberapa tingkat yang diatasnya juga dihuni oleh para manusia yang ingin berlabuh di kota impian, hihihi. Setelah kami menaruh tas bawaan diatas bangku kosong, secepat kilat kami berlari kegirangan saat melihat pintu belakang kapal terbuka (ciyusss, kami gitu orangnya o_O) untuk melihat keindahan laut.
Tidak lama kemudian, kapal pun mulai bergerak dan melaju. Banyak sekali orang yang lebih memilih berdiri untuk menikmati alam daripada harus duduk dibangku.
Perjalanan laut yang sangat-sangat luar biasa, memandang hamparan biru kehijauan anugerah Tuhan terasa sangat nikmat bahkan tidak rela meski hanya sekedar untuk mengerjap mata. Ditengah perjalanan, lengkaplah sudah kebahagiaan kami saat segerombolan makhluk laut yang suka menyelamatkan manusia menampakkan dirinya disamping kapal.
Biasanya saya melihat lumba-lumba hanya di tv, tapi sekarang saya sudah menyaksikan langsung di habitat aslinya. Maha besar sang pencipta seakan tertoreh tanpa henti. Mungkin inilah salah satu keberuntungan menaiki kapal lambat, katanya penumpang kapal ini lebih sering melihat lumba-lumba dibandingkan dengan penumpang yang menaiki kapal cepat. Pukul 16.30 wib kami sampai di Pelabuhan Balohan kota Sabang. Kami langsung turun ke bawah kapal, duduk diatas ‘dek bit’ dan ketika pintu keluar kapal dibuka kami langsung wusssss meninggalkan pelabuhan.
Saya dan suami benar-benar berada ditempat asing. Untungnya penunjuk jalan benar-benar membantu. Kami langsung menuju kota Sabang yang berjarak 10 km dari pelabuhan Balohan. Suami langsung mengontak temannya (Mr. Adi) untuk menanyakan perihal penginapan. Karena tujuan kami adalah Iboih dan berencana untuk menginap disana. Tapi ternyata Mr.Adi menyarankan agar menginap di losmen yang berada di pusat kota saja, karena perjalanan ke Iboih cukup jauh (sekitar 22 km dari kota) dan hari sudah semakin senja. Mr. Adi juga menambahkan, di Iboih sunyi sekali jika malam dan tidak ada warung-warung yg menjual nasi, karena jam 9 malam mereka sudah tutup. Akhirnya kami sepakat untuk menginap di kota. Besok pagi-pagi saja kami mulai perjalanan ke Iboih. Kebahagiaan semakin bertambah lengkap karena ternyata kamar yang kami sewa langsung menghadap ke teluk kota Sabang.
Harga sewa per-kamarnya rata-rata berkisar 150rb-500rb. Tergantung kelengkapan fasilitas yang diinginkan. Keesokan paginya sekitar jam 07.00 wib kami langsung capcus menuju Iboih, saat memulai perjalanan menuju Iboih, saya jadi ragu. Betapa tidak. Jalan menuju iboih sangat berkelok-kelok dan naik turun. Saya mengkhawatirkan keadaan ‘dek bit’. Bagaimana mungkin motor bebek bisa mendaki jalan seperti ini, hiks. Tapi namanya juga ‘dek bit’, dengan semangat membara dia menaiki jalan-jalan yang entah bagaimana bentuknya (hidup dek bit!). Sepanjang perjalanan, samping kiri dan kanan kita akan disuguhkan pemandangan hutan lindung. Seperti mau syuting film hantu saja lokasinya, heuheuheu. Kami tetap sabar berjalan meski tapak kaki penuh nanah penuh darah (jiahhhh lebay, keseringan nguping suami dengerin lagu iwal fals ntu sih).
Akhirnya setelah lebih dari 1 jam perjalanan kami sampai juga ke lokasi dengan penunjuk jalan yang tertulis “Welcome to Iboih” (Huaaaaaa akhirnyaaa). Begitu sampai kami langsung disambut oleh pantai biru jernih tak berbibir dengan hamparan karang dan ikan warna warni yang sangat jelas terlihat begitu saja. Di pinggir-pinggir pantai terdapat warung-warung yang berjualan makanan ringan dan juga tempat penyewaan alat snorkling dan diving. Untuk penyewaan alat snorkling memiliki tarif 40rb seharian sesukamu deh, hihihi.
Melihat pemandangan seperti itu rasanya saya ingin mengambil semua karangnya dan suamiku mengatakan ingin memotong kotak-kotak airnya untuk dibawa pulang dan dimasukkan ke kulkas. Sungguh pemandangan yang membuat ‘geram’.
Melihat alam yang seperti ini, seakan saya tidak memiliki batas nilai untk mengukur berapa rating keindahannya. Benar-benar karya agung sang pencipta semesta alam. Yang dapat dilakukan dalam waktu itu hanyalah duduk termenung menikmati dan mengagumi keajaiban yang terpampang nyata didepan mata.
Saya benar-benar tidak dapat menahan keinginan untuk sekedar mandi dan meminum sebanyak-banyaknya air laut ini (hahaha aku gitu orangnya). Tapi berhubung saya dan suami hanya berdua, rasanya tidak seru kalau mandi dan snorkling. Suamiku berjanji untuk mengajakku kembali bersama teman2 agar bisa snorkling. Tapi saya bingung dengan alam yang mahadahsyat indahnya tidak terlihat banyak orang yang mengunjungi. Dimana-mana hanya terlihat turis asing saja. Tidak ada wisatawan domestik yang terlihat. Disini benar-benar sepi, hiks. Mungkin pengelolaannya yang sangat tidak maksimal sehingga menyebabkan tanah yang kaya ini miskin kunjungan.
Setelah puas dengan keajaiban alam Iboih, kami melanjutkan perjalanan ke 0 Kilometer yang berjarak 8km dari Iboih. Menyempurnakan perjalanan ke 0 Km ternyata cukup melelahkan juga, dengan melewati hutan lindung yang lebih mengerikan akhirnya sampailah kami di titik ujung barat Indonesaaaahhhhh
Hanya beberapa saat di 0 Kilometer, kami berbalik arah melanjutkan perjalanan ke Gapang. Jalan menuju Gapang, Iboih, dan 0 Km adalah satu arah. Jarak antara 0 Km menuju Gapang adalah sekitar 11 km. Sesampainya di Gapang kami melihat sangat banyak resort-resort yang dihuni oleh turis asing, lagi-lagi hanya penampakan mereka saja yang ada. Tidak ada wisatawan domestik. Gapang juga tidak kalah indah dengan Iboih, memiliki air laut yang jernih bak kaca dengan pemandangan karang yang menganga didepan mata.
Gapang sedikit kotor
Hari sudah siang, perut pun mulai berbunyi, setelah mencari-cari rumah makan disekitar Gapang dan tidak menemukannya, akhirnya kami sepakat untuk langsung melanjutkan ke Sumur Tiga dan Anoi Itam, kami memutuskan untuk makan siang di Anoi Itam saja. Perjalanan ke Anoi Itam sekitar 27km dari Gapang. Sesampainya di kawasan Sumur Tiga dan Anoi Itam saya seakan terbius dengan landskap alamnya yang biasanya hanya bisa dinikmati melalu karya fotographi
Alam yang begitu mempesona membuat kami sejenak melupakan rasa lapar. Ketika kembali mengingatnya, kami kecewa karena lagi-lagi tidak ada warung ditempat ini (huaaaaaaa nangis gila). Akhirnya kami kembali ke kota untuk mengisi perut. Saya memilih untuk mencicipi Mie Jalak (salah satu kuliner khas kota Sabang)
Setelah kenyang kami pun kembali ke penginapan untuk beristirahat karena keesokan paginya kami harus kembali ke Banda Aceh. Esoknya, pukul 06.00 wib kami buru-buru ke pelabuhan Balohan agar tidak ketinggalan kapal lambat, karena katanya orang-orang bisa menunggu/antri sampai berhari-hari agar kendaraannya bisa diangkut/muat kapal. Untunglah bagi pengguna sepeda motor tidak terlalu khawatir, tapi kasihan bagi pengguna mobil yang harus antri kendaraannya selama 2-3hari untuk naik ke kapal dikarenakan tidak muatnya beban. Rasa sedih menyusup ketika berada di pelabuhan, saya benar-benar tidak dapat melupakan keindahan Sabang.
My hubby in action go back to Banda Aceh
Tepat pukul 07.30 wib kami sudah menaiki kapal menuju ke Banda Aceh, kembali mengarungi Samudera Hindia.
Perjalanan pulang dari pelabuhan Balohan Sabang ke Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh hanya berkisar 1jam saja. Dan dalam perjalanan pulang, kami tidak melihat kemunculan lumba-lumba (apakah mereka sedih atas kepulanganku? Oh no bebi hiks). Sama sedihnya dengan saya yang seakan benar-benar tidak rela perjalanan ini berakhir. Kami berjanji untuk datang kembali ke kota yang memiliki pantai nan menawan itu.
Dagh dagh Sabang :(
Sabang, Aku meninggalkan hatiku dikota mu. Sabang, tempat syahdu yang harus kalian kunjungi sebelum mati. (Ratizza)

Ratizza Ramli : Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar